Amin....
Sekitar pukul 18.40wib , ada seorang ibu mengetuk pintu rumah.
"Om...swastyastu..."
Dibukakanlah pintu tersebut oleh eyang. Ntahlah mereka berbicara menggunakan bahasa sunda, penulis tidak mengerti tentang bahasa sunda. Tapi yang penulis lihat, ibu tersebut panik sekali. Dari raut mukanya sudah terlihat kalau ia meminta bantuan pada eyang. Kemudian eyang memanggilku
"bagus...bagus"
"iya yang. ada apa eyang manggil gus?"
(sambil membawa bubur yang sedang penulis makan)
Tiba-tiba ibu itu meminta tolong pada ku
"Pak dokter, tolong anak saya, dia jatuh dari pohon. Terpeleset, luka di pahanya sangat besar, tolong anak saya pak"
"Tapi bu, nu inda bawa peralatan sama sekali"
Eyang langsung bilang ,
"sudah ada gus, punya eyang di kamar praktek. bawa saja tasnya, disana sudah ada perlengkapan semuanya".
"Ibu rumahnya dimana?" (tanyaku)
"Dekat dari sini pa dokter. Saya istrinya pak nyoman di**ka"
Tek..tiba-tiba niat ku untuk menolong berubah menjadi sebuah kebencian. Penulis benci dengan bapak itu. Dia yang selalu mengataiku "dauh tukad, dauh tukad" dan selalu melihat penulis dengan pandangan yang tidak suka. Dalam hati, PUAS!
"Maaf bu, nu inda bisa bantu. Nu sibuk"
"Tolong pak dokter, tolong anak saya. Maafin suami saya yang suka berkata ga enak sama dokter. Jangan lihat suami saya dok, lihat saya dan anak saya"
"Profesional lah gus, eyang tau kamu tidak suka dengan dia. Tetapi ingat, ada etika kedokteran juga, dimana kamu harus mengedepankan rasa kemanusiaan, buanglah egois kamu. Kalo kamu tidak membantunya dan terlambat, maka kamu bisa terkena sanksi"
"Tapi yang, gus belum jadi dokter sebenarnya"
"Iya justru itu, kamu harus bersikap profesional mulai dari sekarang. Orang yang benar-benar membutuhkan pertolongan. Eyang dokter, kamu dokter, sama-sama tau tentang etika. Berangkatlah" (sambil membawakan sarung tangan, dan masker)
Berangkatlah penulis kerumah ibu tersebut. Disana sudah ramai. Dan tanpa basa basi penulis langsung masuk kerumahnya, dan benar saja, luka sayatannya begitu besar, celana dan bajunya penuh dengan darah.
Tidak lama penulis datang, ada dua orang mahasiswa datang. Dia mungkin mengetahui kalau penulis yang akan mengobati anak ini.
Dia bilang, "Pak, saya mahasiswa FKM , IPB. Kita yang bantu bapak"
(Mlongo dalam hati. Emang saya keliatan tua ya? Banyak yang manggil bapak"
"Iya, silahkan. Tolong kalau bisa ambilkan air hangat dan alkohol dirumah eyang saya"
(penulis kira, mereka tidak tahu rumah eyang . Ternyata tau. Gesitnya mereka)
Penulis kasih mereka sarung tangan, mereka yang membersihkan lukanya, dan penulis yang menyiapkan apa saja alat yang akan dipakai. Setelah selesai lukanya dibersihkan dengan alkohol, mereka memanggil penulis. Kemudian saya memberinya antibiotik. Jarum, benangnya, kapas alkohol , gunting, betadin, kain kasa. Dan saya menyuruh salah satu dari mereka ke apotek untuk membelikan obat , sudah penulis tuliskan resepnya apa saja. Salah satu dari mereka berangkat , dan satu masih dengan saya. Sebelum dimulai, saya berdo'a meminta keselamatan sama Allah, agar semuanya berjalan dengan lancar tanpa hambatan. Dengan penuh hati-hati namun yakin akan kesembuhan pasien ini. Maka rasa kemanusiaan dan profesional perlu di kedepankan dalam menangani seperti ini.
Penulis sering sekali menemui kejadian seperti ini. Sudah 6x sekarang menjahit orang yang jatuh dan sayatannya begitu lebar dan panjang. Kerapihan, kehati-hatian yang perlu diperhatikan. Kerapihan saat menjahit luka itu sangat perlu, karena ini pasti akan membekas, bisa hilang menggunakan salp. 20menit waktu yang penulis butuhkan untuk menjahit luka tersebut. Alhamdulillah lagi, anaknya tidur, jadi tidak perlu bersusah-susah menahannya. Selesai menjahit luka kemudian anak IPB tersebut yang membersihkan alat-alat yang tadi penulis gunakan untuk menjahit. Penulis ambil kapas menggunakan betadin, dan dibalut dengan kain kasa dan plester. Insyaallah akan sembuh.
Selesai semuanya, penulis tidak langsung keluar. Penulis memanggil ibu dari anak tersebut
"Ibu, ini sudah selesai. anak ibu saya beri obat tidur dan penahan rasa sakit. Mungkin ini bereaksi malam atau pagi. Ini pasti sakit sekali nanti. Ini surat izin sakit untuk sekolahnya, 4hari dia harus istirahat. Jangan kasih aktivitas apapun. Kalau bisa jangan kena air dulu lukanya, dan ibu nanti rutin menggantikan perbannya. Pagi, siang, dan sore. Nu nyuruh anak tadi untuk membelikan semua obat, dan perlengkapan lainnya"
"Tapi pak dokter, ibu ga ngerti gimana caranya gantiin perban?"
"Nanti nu kesini bu kalau ibu inda bisa"
"Jangan pak dokter, biar saya saja yang membantu bapak. Rumah saya dekat didaerah sini juga" (sahut anak IPB tersebut)
"Oh,iya. Silahkan..." (Alhamdulillah dalam hati)
Tanpa basa basi banyak, penulis pamit, waktu sudah menunjukan jam 19.20wib. Belum sholat magrib dan sholat isya. Akhirnya di mushola , penulis berhenti untuk sholat, dan warga sekitar rasanya aneh melihat penulis masuk mushola dan sholat. Mungkin mereka pikir penulis masih beragama Hindu, karena eyang penulis seorang tokoh agama Hindu. Setelah selesai sholat, penulis melihat bapak yang selalu menyindirku 'Dauh Tukad' ada didepan mushola. Tetapi penulis tidak langsung keluar , sengaja di dalam mushola dulu. Dia tetap menunggu. Dan penulis keluar , untuk pulang kerumah.
"Wisnu...." (dia memanggil penulis)
"Iya, ada yang bisa nu bantu,pa?"
"Maafin bapak ya, selalu bilang dauh tukad dauh tukad"
"Inda apa , ini karma untuk bapak. Nu sudah memaafkan bapak. Permisi pak, nu mau pulang" (dengan agak kesal)
"Ini nu, ada ucapan terimakasih untuk kamu yang udah ngobatin anak bapak" (ngasih amplop)
"Inda usah pak. Gratis. Pura yang bayar. Permisi ,pak" (penulis sudah sangat kesal denggannya)
Pulang sampai rumah, eyang bertanya
"Gimana gus? Bisa kan?"
"Alhamdulillah ,yang"
"Bayar?"
"Inda yang. Gus bilang pura yang bayar"
"Ini pak dokter uang bayarannya" (ngasih Rp.250.000)
"Hah? banyak banget eyang?"
"Emang segitu kalau dokter spesialis. Mahal. Pengalaman soalnya."
*Ketawa bareng akhirnya*
Tidak lama ada yang mengetuk pintu rumah kembali. Penulis bukakan pintunya, ternyata anak IPB tersebut yang tadi membantu penulis...
Nara & Talitha : "Om...swastyastu, dok"
Penulis : "Oh, iya, silahkan masuk"
(Mereka masuk rumah)
"Ada yang bisa saya bantu?"
N : "Engga dok, kami cuma ingin main. Perkenalkan dok, saya Nara dan teman saya , Talitha. Kami mahasiswa FKM IPB, dok."
Penulis : "Pekenalkan juga, nama saya wisnu, panggil nu saja sudah cukup. Kalian semester berapa?"
L : "Kami masuk semester 3 dok. 2 tahun yang lalu kami jadi mahasiswa"
N : "Dokter, praktik dan tinggal dimana?"
Penulis : "hahaha...nu masih mahasiswa , beda 1 tingkat lebih dulu dari kalian. Nu FK universitas di kalimantan. Tapi rencana ada mau pindah ke luar negeri. Atau nanti ambil spesialisnya"
L : "wah....ta kira udah dokter beneran. Ternyata masih mahasiswa juga. Soalnya dari penampilannya pas seperti dokter, dan dari cara nulisnya juga udah cepet. Khas tulisan dokter seperti sandi rumput dan cuma apoteker aja yang ngerti"
Penulis : "Iya ta, kebetulan sudah diajarkan juga cara nulisnya dokter yang cepat itu seperti apa. hahaha... Kalian asli bogor?"
N : "Bukan dok, talitha dari Solo , Nara dari Singaraja"
L : "Ka dokter cucunya sulinggih ya?"
Penulis : "Itu eyang nu, eyang dari aji. Kebetulan lagi libur , main main disini jadinya. Kenapa kalian inda pulang ke rumah? Bukannya lagi libur ya?"
L : "Kami anggota BEM ,ka . Males juga pulang . Masih ada yang harus kami selesaikan" (sahut litha)
N : "Dok, nanti mau ambil spesialis apa?"
Penulis : " Insyaallah , Ortopaedi dan Traumatologi"
N : "Wah..keren sekali dok"
L : "mmmm...maaf ka, mungkin saya lancang. Ka dokter islam ya?"
Penulis : "Iya, nu muslim. Kenapa?"
L : "oh...engga ka" (canggung)
Penulis : "Maaf, kalian beragama apa?"
N : "Saya hindu dok. Kalau litha, dia mau di wisudi widhani. Rencananya dekat ini dok"
Penulis : " Sudi Widhani?" (suara pelan) "Tadinya litha beragama apa?" (maaf kalo nu lancang)
L : "Saya,muslim, ka"
Penulis : "Oh...muslim. Kalian pacaran ya?"
N : "Enggak enggak ka, enggak. Dia teman saya. Saya udah punya pacar ko"
Penulis : "Sudah-sudah, kita bicara diluar saja. inda enak disini"
(Akhirnya kita keluar rumah)
Penulis : "Litha kenapa ingin masuk hindu?"
L : "ga tau ka, litha ngerasa nyaman jadi umat hindu, ngerasa ada kedamaian di hati yang sebelumnya litha belum pernah rasain. Mungkin kalo ortu tau, mereka akan kecewa, tapi litha ga bisa bohong sama diri sendiri ka. Makannya litha minta bantuan sama Nara, karena dia umat Hindu. Dia yang mengajari saya tentang sembahyang dan hal-hal kecil mengenai agama Hindu"
Penulis : (menghela nafas) "Al-Kafirun ayat 6. Lakumdinukum Waliyadin. Untukmu agamamu , Untukku agamaku. Apapun agama dan keyakinan kita, kita harus tetap perofesional. Nu juga inda menutup diri , dan terimakasih atas bantuan dari kalian tadi. Mahasiswa IPB. Beda keyakinan bukan halangan untuk kita, tetapi dengan adanya toleransi dan saling menghormati ini akan membuat kita menjadi bersatu dalam membangun perbedaan yang ada. Apalagi seorang yang bekerja dalam bidang kesehatan. Inda perlu lihat siapa dia , dia siapa. Kalau ada yang membutuhkan kita, maka kapanpun kita harus siap. Tanpa harus memandang SARA. Karena kita bekerja bukan di bidang politik, ada etika kedokteran dan mungkin di kesehatan masyarakatpun ada etikanya juga. Pakai dan pergunakanlah. Untuk litha, kelak kalau kamu sudah di wisudi widhani, nu titip. Jangan main-main dengan agama. Pertanggungjawabkan semua itu ya. Nu percaya sama kalian"
*Hari sudah semakin malam*
Nara : "dok, kami pamit pulang"
Penulis : "Oh, iya. Hati-hati ya, terimakasih sudah main kemari. Kalau ada apa-apa datang saja kemari"
Litha : "Terimakasih ka, atas ilmunya"
Penulis : "Pasti.."
Litha : "Permisi ka, selamat malam"
Penulis : "Malam juga. Hati-hati dijalan"
Baru saja beberapa menit yang lalu mereka pulang dari rumah penulis. Senang punya kenalan baru yang baik seperti mereka. Ada kecewanya juga dengan sikap litha , tetapi ya sudahlah, mungkin itu garis hidupnya yang ingin memeluk Hindu dan pulang kejalan Dharma. Jangan memandang SARA, karena ini profesi yang menyangkut nyawa orang. Siapapun partner atau pasien kita, maka dia merupakan salah satu bagian dari diri kita. Maksudnya , partner yang beda SARA kalau sudah masuk dalam dunia kesehatan sekalipun beda ahli atau bidangnya, maka mereka tetap partner kerja kita. Harus kompak antara Dokter, Suster, Perawat, Bidan dan tenaga medis lainnya. Begitu juga dengan pasiennya, siapapun mereka , kalau mereka butuh pertolongan dari kita, maka tolonglah. Allah akan senantiasa selalu memberikan rahmat untuk orang-orang yang mau berusaha dalam menjalani hidup ini...
dr.Ch.Leuwisnawa I.Dj , SpOT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar